Dilema Orang Asli Papua

 

FB_IMG_1484232491029.jpg

Foto: Meuwo 1938 ( Pdt Noakh Nawipa )

Isu kepunahan orang Papua (genosida) sekarang sudah mulai menghangat dalam berbagai pembicaraan. Isu ini tidak hanya dibicarakan dikalangan orang Papua di sudut sudut pedalaman, tidak hanya menjadi menu harian cendekia, tetapi sesering mungkin didengunkan tokoh agama di mimbar-mimbar gereja maupun di media nasional, daerah dan media maya.

Baru-baru ini, seorang pejabat daerah yang melakukan perjalanan ke Jakarta skeptis terhadap penumpang yang bersama sama dari Cengkareng ke Biak. “Kok, yang ke Papua semua orang pendatang?” tulis Damiana Tekege di status facebooknya. Ia bingung, penumpang ini apakah penduduk Papua, atau hanya ke Papua karena urusan tertentu.

Sebutlah tokoh gereja Hengky Kegou, atau tokoh Meuwo, Agapaibo Yulius atau Frans Bida Bobii [ Humas Tigi Barat Deiyai ] Otopianus Tebai sudah mulai mengangkat “kasus” kepunahan OAP (#Orang_Asli_Papua) ke permukaan. Bahwa masalah ini bukan masalah sepeleh, tetapi sejak saat ini harus menjadi perhatian bersama-sama seluruh manusia yang tinggal di Papua, termasuk bagi yang prihatin terhadap kondisi orang Papua dan tanahnya.

Bicara soal kepunahan, berarti bicara soal jumlah manusia Papua di mana-mana. Menunjukkan kepunahan berarti, jumlah orang yang tadi ada di mana mana itu mulai berkurang, entah meninggal tabrakan, ditembak mati, mabuk mati, meninggal sakit penyakit atau karena jumlah bukan OAP bertambah disekitar situ.

Nah, jika masalah ini sudah mulai nampak di permukaan, maka apa yang harus dilakukan?

Menurut saya, orang Papua tidak perlu butuh seorang profesional yang mampu mempertahankan atau melindungi ras ini tetapi cukup membutuhkan sosok yang Gila. Orang gila yang mampu membawa masalah ini sampai ditingkat yang nyata.

Papua saat ini cukup butuh sosok gila yang mampu merumuskan sebuah aturan, katakanlah Perdasi/Perdasus agar dipatuhi oleh setiap orang yang akan mendiami di negeri ini.

Syukur kalau orang gila itu seorang Gubernur atau seseorang yang berkompoten dibidang kependudukan, lembaga adat ( Serikat Masyarakat Adat Papua ) misalnya. Lalu, ia mengambil langkah-langkah pasti untuk menekan kepunahan etnis melanesia di negerinya sendiri.

Menurut saya, ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama menekan #imigrasi, stop #KB dan atau mempertahankan istiadat kawin lebih dari satu yang sudah berlaku dalam adat orang Papua. Sekalipun nanti dilarang agama dan yang merasa di madu cintahnya.

1. STOP IMIGRAN

– Hentikan imigrasi antar pulau, terutama yang ke arah Papua. Sistem KTP bisa dipesan sebelum ke Papua lewat kerabat terdekat, sehingga mungkin setiap penduduk diwajibkan miliki KTP elektrik. Atau identitas online.

– Setiap kegiatan atau usaha yang dibangun di Papua, hanya bersifat kontrak. Jadi, tanah tidak bisa dibeli selamanya, tetapi hanya bersifat kontrak, sementara.

2. Stop KB

Ibu ibu Papua dilarang mengikuti program Keluarga Berencana yang sudah lama diangkat sejak Orde Lama. Anggap saja program ini tidak cocok bagi orang Papua.

Dalam hal ini Pemerintah Provinsi dan Kabupaten mesti punya program khusus dengan lembaganya sendiri untuk menangani orang-orang Papua usia subur. Jadi orang Papua usia subur perlu mendapat kantor khusus untuk urusan khusus itu.

2. ISTIADAT POLIGAMI

Bila orang Papua merasa semakin punah, maka cukup pertahankan istiadat Poligami. Adat ini sudah ada sejak turun temurun. Seorang paitua bisa memperistri lebih dari satu dengan hanya dua alasan. Alasan pertama karena gadis itu seorang janda (ditinggalkan suami atau suaminya meninggal). Alasan kedua karena mungkin turunannya cuma anak perempuan. Sehingga alasan kedua hanya untuk cari turunan laki-laki.

Perkawinan lebih dari satu dalam istilah antropologi disebut poligami atau poliandri.

#Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yg bersamaan. Dalam antropologi sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan).

#Poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan. Pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage) yaitu kombinasi poligini dan poliandri.

Orang Papua dalam adat istiadatnya tidak mengenal poliandri. Bila ada praktek poliandri, dengan mudah, masyarakat adat menyingkirkannya.

Nah, sekarang untuk melawan aturan gereja (agama) cukup orang gila tadi ajukan konsep atau rancangan aturan poligami ditingkat majelis untuk diperdasuskan. Bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki turunan / genre laki-laki dan bagaimana dengan mereka yang kawin keluar. Apakah perlu mendapat pasal ayat khusus?

Saya tidak tahu pendapat dari John Jose, Mart Markus You, atau pater Wemby di Jayapura, tetapi bila memang kondisi demikian, maka sudah saatnya dilakukan langkah – langkah kongkrit untuk menyelamatkan identitas ras Melanesoid.

Sumber: Akun Facebook EngelBertus Degey